Select Menu
Select Menu

Favourite

Politik

Wisata

Culture

Transportasi Tradisional

Rumah Adat

Bali

Pantai

Seni Budaya

Kuliner

» » In the name of Morality


Unknown 20:24 0


“Masalah moral…masalah ahlak
Biar kami cari sendiri..
Urus saja moralmu..urus saja ahlakmu
Peraturan yang sehat yang kami mau”
(manusia setengah dewa-Iwan Fals)

jadi sayangku…bertahanlah…
bila terkadang mulutnya kejam…
peluklah aku…jangan menyerah…
mereka bukan hakim kita…
(dosakah kita-NIDJI)

Mereka bukan Tuhan dan bukan penentu dosa…

Atas nama moral seorang pengacara berbicara masalah dosa sambil memperkenalkan LSM nya
Atas nama moral seorang pengacara berbicara masalah dosa
Atas nama moral memanfaakan anak-anak kecil yang tidak mengerti apa-apa untuk demonstrasi menentang pornografi
Atas nama moral beberapa Kepala daerah ikutan latah dan menjadi otoriter
Atas nama moral ormas-ormas yang merasa yang punya agama menjudge seseorang sebelum ada keputusan
Atas nama moral MUI menjadi polisi yang merazia video porno
Atas nama moral Polisi jadi penjaga moral dengan merazia warnet dan HP
Atas nama moral guru-guru melanggar privasi anak muridnya dengan merazia HP
Atas nama moral LSM yang menanggani masalah anak-anak ikut-ikutan menjadi dewa bagi anak-anak

Pertanyaannya apakah benar atas nama moral atau publikasi?
Tiba-tiba semuanya menjadi orang baik dan menjadi polisi moral. Semuanya melakukan sesuatu yang kadang-kadang sudah bukan pada porsinya atau jabatannya..yang penting bisa tampil didepan kamera.

Semuanya menjual generasi muda, semuanya menjadi peduli dengan hal ini seolah-olah ada kejadian unik yang belum pernah terjadi di Indonesia. Kalau hal ini adalah hal baru, sungguh takjub dan hebat Indonesia ini!, ternyata generasi muda Indonesia adalah generasi yang sangat bermoral sehingga semuanya menjadi begitu peduli ,jangan sampai generasi-generasi yang bermoral dan bersih ini terkontaminasi. 

Sejak beredarnya video mesum yang mirip Ariel, Luna maya dan Cut tary, semuanya menjadi polisi moral! semua elemen yang bukan pemuka agama berlomba-lomba menjadi polisi moral, tak perduli apa backgroundnya. Semuanya menjadi putih dan semuanya menjadi peduli, menjudge, memaksa, menghina, menuduh, dan menjadi pahlawan untuk para generasi muda.

Kalau, seandainya para “pencari kamera” benar-benar sangat peduli dengan generasi muda, (ini seandainya benar) maka mereka pasti akan memboikot untuk berbicara didepan kamera.

Kenapa?

Karena secara “hukum” mengenai publikasi, semakin banyak yang memberi komentar dengan cara dan gaya masing-masing maka semakin banyak yang akan memberikan sanggahan dan jawaban. Akhirnya semakin banyak yang berbicara jadi semakin bagus untuk media karena tidak kekurangan bahan berita dan terus menghangatkan berita.

Misalnya seorang pengacara yang sekarang ngotot menjebloskan “pemain film porno” ke penjara, beliau tahu hukum publikasi, dan beliau juga seorang yang pernah melakukan kenakalan dengan menghianati istrinya, sebaiknya tidak memberikan komentar apalagi komentarnya yang tidak berhubungan dengan backgroundnya sebagai pengacara.. tapi berganti dengan baju LSM yang ujung-ujungnya orang tau bahwa dia adalah ketua dari LSM tersebut. 

Sebagai orang yang mengetahui dampak publikasi yang bisa menjadi ramai apalagi sebagai orang yang pernah melakukan “Dosa” dan terpublikasi. Jika dilakukan maka akan menjadi rantai berjalan yang akan menimbulkan para pencari publikasi lainnya untuk tampil. Dan ini akan sangat berpengaruh kepada masyarakat, karena di bombardir dengan pernyataan-pernyataan berbagai pihak di media. Yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak begitu penasaran menjadi penasaran.

Para kepala daerah tidak ikutan latah pengen jadi hero, menteri tidak ikutan berkomentar apalagi sampai berpantun ria, orang-orang yang mengaku ulama tidak memanfaatkan anak-anak yang tidak mengerti untuk menjudge dan memberikan pelajaran kebencian kepada sesama manusia, ormas-ormas pada sadar bahwa bukan mereka yang mempunyai agama, para LSM yang katanya melindungi anak-anak harus sadar dengan berkomentar dimedia akan merugikan anak-anak dan lainnya yang tiba-tiba mendadak menjadi orang yang paling suci sedunia.

Jika mereka menolak menjadi konsumsi media, maka mereka sudah menolong para generasi muda dan membuat hal ini tidak menjadi booming. Tidak menjadi heboh dan menjadi pembicaraan semua orang..

Jika diminta melakukan seperti itu, mereka mungkin akan berdalih bahwa mereka berbicara di media untuk menghimbau para generasi muda untuk tidak mendownload dan menonton video porno tersebut.

Jika hal tersebut dijadikan alasan?
Apakah dengan menghimbau generasi muda akan menjadi sadar??
Suatu metode kuno yang dari dulu hingga sekarang masih digunakan, yang fungsinya malah tidak ada, yang ada malah menjadikan mereka penasaran.

Menghimbau apalagi di media sekarang ini bukan lagi cara yang efektif!
Hal yang efektif adalah dengan tindakan nyata yang memang harus dilakukan dari dulu bukan ketika ada kehebohan. dari sekarang ini penjualan VCD porno terang-terangan, majalah-majalah yang merangsang mudah di temui, acara-acara di tv, Internet dan sebagainya adalah hal yang nyata.

Kemana para advokat yang mendadak jadi polisi moral?
Kemana ormas yang memiliki hak atas moral?
Kemana para ulama?
Kemana para polisi?
Kemana para menteri?
Kemana para LSM?
Kemana para guru?
Kemana MUI?
Kemana LSM anak?
dan lain sebagainya..
Mereka tidak menjalankan dan membuat metode yang bisa mempersempit ruang akses mendapatkan video-video porno. 

Metode menghimbau sudah basi dan sangat basi. Dengan kemajuan teknologi sekarang ini dan kemajuan pesat dari pemikiran para generasi muda, itu menjadi sia-sia. Dan 100% yakin mereka sadar bahwa itu adalah hal yang sia-sia, tapi tetap dilakukan demi bisa tampil di depan kamera dengan tujuan-tujuan tertentu yang sangat jauh dari kepedulian terhadap generasi muda.
Kenapa? Ya jelas! sebelum ada kasus inipun, banyak kenakalan remaja yang terjadi. Untuk kasus video porno, generasi kita sudah banyak menikmati video_video porno. Baik dari dvd, download dari internet maupun sharing dengan bertukar file porno melalui HP. Jadi bisa di bilang generasi muda kita bukanlah generasi muda yang bersih-bersih amat, karena akses untuk mendapatkan hal tersebut sangat mudah..

Seharusnya para “Polisi Moral” tersebut yang disalahkan! karena mereka tidak menjalankan fungsi mereka malah “ngerumpi” dan “memanas-manasi” sesuatu yang tadinya bisa tidak "panas". Dan saya yakin mereka sadar dengan melakukan hal tersebut maka mereka Termasuk para pengedar video porno ini.

Coba pemerintah dan para polisi moral tersebut mulai membuka kran pelajaran sex sejak dini yang mulai dilakukan dari SD sampai dengan SMU. dan para ormas dan para ulama tidak menganggap sex itu sebagai hal yang tabu! jika ini masih terjadi, mendingan mereka tidak lagi menggunakan panji-panji agama sebagai baju mereka. Karena dengan seruan mereka maka para pengikut (dibaca: orang tua) sudah tertanam bahwa pendidikan sex adalah tabu! sehingga anak-anak mereka tidak mendapatkan dari orang tua malah mendapatkan dari teman-teman sepergaulan dan di internet.

Siapa yang disalahkan? Anak-anak?
Tidak bisa!
karena diusia seperti itu mereka ingin mengetahui banyak hal.

Kalau mau protect, sehebat apapun seorang Tifatul sembiring, tidak bisa meredam maraknya peredaran video porno di dunia maya. Sehebat apapun perasaan roy suryo tidak bisa meredam hal tersebut.

Didunia maya sangat banyak cara untuk mencari celah, semakin di larang semakin kreatif. simpelnya melalui email free yahoo kita bisa saling bertukar video.

Contoh yang paling dekat adalah, seorang teman saya beberapa hari lalu bilang HPnya rusak mungkin karena kebanyakan menyimpan video porno, sampai 150 buah. Saya bilang ngak ada hubungannya dengan hal tersebut. dan ironisnya segitu banyak video yang didapat bukan melalui internet, tapi sharing melalui HP. Internet buat dia adalah hal yang sangat ekslusif. Sampai sekarang ini dia tidak pernah merasakan yang namanya internet. Dia terlalu sibuk menjual soto mie di daerah Blok M. jadi untuk seorang yang tidak mengerti mengenai Komputer dan internet pun bisa mendapatkan video porno! apalagi bagi orang-orang yang sudah melek teknologi. Dan kalau mau jujur para “Orang-orang suci” yang wara-wiri di di tv dengan membawa panji-panji moral pasti pernah melihat dan mencari hal-hal yang berbau porno ketika mengakses internet. Jika ada yang mengatakan tidak, Maka patut dipertanyakan kenormalannya.

Kalau mereka masih dalam kemunafikan, panggil saja Uya Kuya untuk hipnotis…pasti bobrok semua.

Di situs pencari google. Coba kita ketik nama seorang wanita. gambar yang banyak tampil adalah gambar-gambar wanita sexy. Dan Indonesia menurut penelitian adalah salah satu Negara pengakses gambar dan video porno di dunia.

Masih sucikah generasi muda kita? Sehingga perlu dilindungi sedemikian rupa? Jangan munafik mereka pasti menikmati. Hanya saja sekarang ini mereka memanfaatkan masalah ini untuk mendapatkan keuntungan publikasi pribadi, bukan untuk kepentingan rakyat dan Negara. karena kelihatan sekali aneh dan terlalu mengada-ada.

Jikalau benar mereka (Ariel cs) yang melakukannya, Memang kenapa?
Setiap orang punya hak dengan hidupnya. 

Yang berhak marah adalah orang yang berhubungan dengan video tersebut, Misalnya suami cut Tary. jelas ! secara hukum Negara (bukan agama…) diatur.
Tapi mengapa orang yang bukan siapa-siapa tiba-tiba menjadi malaikat penyelamat ???

Publikasi gratis adalah jawabannya!
Tidak bisa kita tutup mata, yang ngotot sekarang ini adalah orang-orang yang sudah jarang ada di media.

(Ditulis pada tanggal 24 Juni 2010)

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments

Leave a Reply